Sabtu, 22 Februari 2020

Regulasi, Kapasitas dan Kolaborasi untuk Perlindungan Pekerja Perempuan dan Anak di Industri Sawit









Regulasi, Kapasitas dan Kolaborasi
Untuk Perlindungan Pekerja Perempuan dan Anak di Industri Sawit
(Karina Oktriastra, Tresnawati, Jati Puspita Rini, M.Iqbal, Iqbal D, Marwah Maryanto)

Ringkasan Eksekutif
Kurangnya regulasi, kapasitas dan kolaborasi untuk perlindungan pekerja perempuan dan anak di Industri Sawit dapat menjadi hambatan dalam memperkuat perekonomian serta menciptakan iklim usaha yang baik menuju industri berkelanjutan.  Permasalahan yang menjadi sorotan laporan lembaga internasional, dikhawatirkan akan mengganggu ekspor dan kemajuan dalam industri sawit ini sendiri. 
Terdapat 3 masalah yang digarisbawahi sesuai dengan laporan-laporan tersebut, yaitu mengenai perlindungan terhadap pekerja perempuan dan anak, peraturan yang belum mampu mencakup dan menjangkau kepentingan pekerja, serta kerugian dan pelanggaran hak terhadap pekerja perempuan dan anak.
Pendahuluan
Industri Sawit merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Sebagian besar kasus terjadi karena keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan maupun pemutusan hubungan kerja. Kemudian terkait status buruh/pekerja di perkebunan kelapa sawit, terdiri dari buruh tetap (Syarat Kerja Utama/SKU), buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Buruh Harian Lepas (BHL) dan Kernet (Koalisi Buruh Sawit, 2018). Adapun yang mendapatkan hak jaminan sosial, perlengkapan kerja, tunjangan tetap dan berserikat hanyalah buruh SKU, sedangkan buruh dengan status PKWT, BHL dan kernet tidak mendapatkan hak tersebut. Sedangkan, menurut Sawit Watch, 2016 sebanyak 70% pekerja di sektor perkebunan sawit merupakan buruh harian lepas (BHL).
Sebagai penyumbang devisa negara tahun 2016 sebesar 239,4 triliun, ekspor sawit pada Januari-Desember 2016 sebesar 17,8 miliar dolar, yang jauh lebih besar dibanding ekspor non sawit yaitu 8,62 miliar dolar serta penyerapan tenaga kerja sebesar 8,4 juta orang di tahun 2015. Serta sebanyak 15-20 juta orang yang terlibat serta peran besarnya untuk perekonomian Indonesia, sudah saatnya Pemerintah lebih memperhatikan dan memberikan perlindungan yang layak terhadap buruh/pekerja khususnya perempuan dan anak yang terlibat dalam industri ini.
Deskripsi Masalah
Perlindungan pekerja anak dan perempuan di Indonesia merupakan salah satu isu yang penting untuk segera ditindaklanjuti, terkait Laporan Amnesty Internasional Tahun 2016 mengenai indikasi eksploitasi perempuan dan anak sebagai pekerja perkebunan yang membahayakan kesehatan dan keselamatannya dikarenakan lingkungan kerja dan tempat tinggal pekerja sawit yang buruk dan upah yang rendah di salah satu perusahaan perkebunan sawit multinasional . Dalam Laporan UNICEF 2016, disebutkan bahwa 4 juta orang perempuan dan 5 juta anak diperkirakan bekerja di perkebunan sawit di Indonesia.
Hal ini, juga terkait dengan peraturan yang belum mampu mewakili seluruh kondisi yang ada, khususnya dalam industri sawit, dimana 70% pekerja di sektor perkebunan sawit merupakan buruh harian lepas (BHL), kemudian dengan adanya Kernet/Tukang Berondol, yaitu istri dan anak atau orang lain yang dibayar oleh permanen/asisten untuk bekerja membantu dan tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan, sehingga status mereka tidak diakui karena kernet direkrut dan diupah oleh buruh panen (Koalisi Buruh Sawit, 2018). Perlindungan dan kepentingan terhadap BHL dan Kernet tersebut, belum dijelaskan secara spesifik dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PPKWT) sehingga sulit untuk diorganisir dan diawasi.
Perempuan dan anak, adalah pihak yang paling dirugikan oleh status hubungan kerja tersebut, pada perempuan terdapat resiko kesehatan karena bersentuhan langsung dengan bahan kimia, karena sebagian besar perempuan terlibat pada proses pemupukan dan pemberantasan hama, serta hak cuti haid, cuti maternitas, cek kesehatan rutin, MCK layak dan laktasi juga tidak disediakan di lingkungan perkebunan, yang juga rentan akan pelecehan dan kekerasan fisik karena lokasi yang terisolir dan kurangnya perhatian perusahaan dan pengawasan pemerintah akan hal tersebut. Sedangkan dengan pekerja anak, sudah termuat jelas dalam Undang Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa batas minimal anak berumur 13-15 tahun, yang hanya boleh melakukan pekerjaan ringan dengan maksimal waktu 3 jam perhari, ijin orang tua dan tidak mengganggu secara psikologis.
Rekomendasi Kebijakan
Terdapat tiga hal yang perlu direkomendasikan dapat segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah untuk mengatasi permasalahan pekerja perempuan dan anak pada perkebunan sawit di Indonesia, yaitu mengenai regulasi, kapasitas dan kolaborasi, dengan alternatif sebagai berikut:
1. Terhadap ketiadaan peraturan khusus pekerja/buruh perkebunan kelapa sawit, khususnya terhadap buruh dengan status PKWT, BHL dan Kernet direkomendasikan untuk menyusun dan membentuk regulasi yang melindungi pekerja/buruh khususnya perempuan sehingga dapat tercipta pekerjaan yang layak dalam sektor perkebunan kelapa sawit menuju industri yang berkelanjutan.
2. Terhadap kurangnya pengetahuan dan kapasitas pekerja/buruh khususnya perempuan dan anak agar Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja, Pertanian dan Perindustrian dapat melakukan sosialisasi, edukasi maupun pendampingan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pekerja/buruh sehingga mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya serta bagaimana cara mengakses perlindungan melalui advokasi dan serikat pekerja/buruh dan memperjuangkan haknya dalam forum lembaga tripartit, yaitu lembaga bersama serikat pekerja/buruh, perusahaan dan pemerintah yang diwajibkan untuk dibentuk dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selama ini masih belum berjalan secara optimal.
3. Terhadap perlindungan pekerja, dapat diantisipasi dengan memperluas kerjasama antara Pemerintah, Perusahaan, Serikat Pekerja/Buruh serta unsur-unsur masyarakat untuk dapat meningkatkan pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak pekerja/buruh khususnya terkait perempuan dan anak.

Kesimpulan
Momentum yang diharapkan adalah terjadinya perubahan terhadap strategi untuk melakukan kolaborasi lintas sektor yang dapat mewadahi semua stakeholder yang terlibat, baik kepentingan maupun tanggung jawabnya dalam menciptakan iklim yang baik dalam industri sawit. Sehingga kolaborasi tersebut dapat memperkuat keuntungan ekonomi di sektor kelapa sawit secara berkelanjutan, memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan pekerja perkebunan yang layak serta memperbaiki citra sektor minyak sawit di Indonesia.
Adapun perubahan yang diharapkan adalah pada status pemenuhan hak pekerja PPWK, buruh harian lepas dan kernet, peningkatan pengetahuan dan kapasitas pekerja, serta perlindungan pekerja, khususnya perempuan dan anak.
Daftar Pustaka
International Labour Organization, 2018. Mempromosikan Kerja Layak di Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, 16 Maret - Desember 2018.
Koalisi Buruh Sawit, 2018. Lembar Fakta Perlindungan Buruh Sawit Indonesia.
Perselisihan Hubungan Industrial. Konferensi Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata Universitas Tadulako Palu-Sulawesi Tengah, 12-14 September Tahun 2017.
Soleh, Ahmad. 2017. Masalah Ketenagakerjaan dan Pengangguran di Indonesia. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos, Vol 6. No.2 Juli 2017, 83-92.
Sudiarawan, Kadek Agus. 2017. Optimalisasi Fungsi Lembaga Kerjasama Bipartit Sebagai Forum Komunikasi dan Konsultasi Antara Buruh dengan Pengusaha dalam Upaya Pencegahan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan


Selasa, 14 Agustus 2018

The ABCs of Political Economy: A Modern Approach - Robin Hahnel #BookHighlight

As the new subject of my semester, i really looking forward to understand some more things about the political economic's thing, as the main idea of this subject: how political's view could influence the policy in the economy, about how using the power and politics to get what government's and public sector wants for the economic growth?



Tittle : The ABCs of Political Economy : A Modern Approach 
Author : Robin Hahnel
Publisher : Pluto Press, 2002 -revised and extended edition, 2014, London
Pages : 349

Economics and Liberating Theory 
Political economist have always tried to situate the study of economics within the broader project of understanding. 'The liberating theory' attempts to transcend historical materialism that incorporates insights from feminism, anti-colonial, anti-racist movements, and anarchism, as well as from mainstream psychology, sociology and evolutionary biology.  
Throughout history people have create social institutions to help meet their most urgent needs and desires-feudalism, capitalism, centrally planned socialism. What is common to all human societies is the elaboration of social relationship for the joint indentification and pursuit of individual need fulfillment. The human capacity to act purposefully implies the need to exercise that capacity-to be concious: understand and situate themselves in their surroundings. 
The economy is not only sphere of social activity, in addition to creating economic institutions to organize our efforts to meet material needs and desires, people have organized community institutions for addresing our cultural and spiritual needs, intricate 'sex-gender' or 'kinship' systems for satisfying our sexual needs and discharging our parental functions, and elaborate political systems for mediating social conflicts and enforcing social decisions. So in addition to the economic sphere we have what we call a community sphere, a kinship sphere, and a political sphere as well. A monist paradigm presumes that one of the spheres always dominant in every society.

What should we demand from our economy?

A pareto optimal outcome is one where it is impossible to make anyone better off without making someone else worse off.  The usual way around  this problem is to broaden the notion of efficiency from Pareto improvements to changes where the benefits to some outweigh the costs to others.  This broader notion of efficiency is called the efficiency criterion and serves as the basis for cost-benefit analysis.  Simply put, the efficiency criterion says if the overall benefits to any and all people of doing something outweigh the overall costs to any and all people of doing it, it is 'efficient' to do it.  Whereas, if the overall costs to any and all the people outweigh the overall benefits to any and all people of doing something it is 'inefficient; to do it. 
Seven deadly sins of inefficiency: (fails to achieve a Pareto optimal outcome): 
1. It leaves productive resources idle.  
2. It uses inefficient technologies, that is, uses more of some input than necessary to get a given amount of output.  
3. It misallocates productive resources so that swapping inputs between two different production units would lead to increases in output in both. 
The consumption sector will be inefficient if there are undistributed or idle consumption goods, final goods are misdistributed so that two consumers could exchange goods and both be better off than under the original distribution.  And the production and consumption sectors will be inefficiency integrated with one another if : 1) Goods are misallocated between consumers and producers so its possible for them to swap goods and have the output of the producer rise and the satisfaction of the consumer increase as well, 2) Resources are misallocated to different industries so its possible to shift productive resources from one industry to another to produce a different mixture of outputs more to consumer's tastes.

There is two simple corn models presented here to make corn:
Labor intensive technique: 6 days of labor + 0 units of seed corn yields 1 unit of corn
Capital intensive technique : 1 day of labor + 1 unit of seed corn yields 2 units of corn
In this simple situation economy is more efficient the lower average number of days of work per unit of net corn produced. So we can measure the efficiency of the economy by the average number of days worked per unit of net corn produced. Efficiency also means minimizing the ratio of pain to gain, reduced to total number of days worked, or total days worked divided by total net corn production.

Political economist distinguish between outcome (does one person work more or less than another) and decision making process (who decides how the work will be done). In the simple corn model if I decide how I will go about my work, we say my work is self-managed, if someone else decides how I will go about my work, we say my labor is other-directed or alienated. 

A market is a social institution in which participants can exchange a good or service with one another on terms they find mutually agreeable.  It is part of the institutional boundary of society located in the economic sphere of social life.  If a good is exchanged in a 'free' market, anyone can play the role of seller by agreeing to provide the good for a particular amount of money.  

Adam Smith noticed something strange but wonderful about free markets.  He saw competitive markets as a kind of beneficent, 'invisible hand' that guided 'the private interests and passions of men' in the direction 'which is most agreeable to the interest of the whole society'.

As quoted in 'The Wealth of Nations, 1776'.

"Every individual necessarily labours to render the annual revenue of the society as great as he can.  He generally, indeed, neither intends to promote the public interest, nor knows how much he is promoting it.  He intends to only his own gain, and he is in this, as in many other cases, led by an invisible hand to promote an end which was no part of his intention.  Nor is it always the worse for the society that it was no part of it.  By pursuing his own interest he frequently promotes that of the society more effectually than when he really intends to promote it from their self-interest.  We address ourselves, not their humanity, but to their self-love, and never talk to them of our necessities, but of their advantages.  

Adam Smith's law of the market are basically simple, the show us the drive of individual self-interest is an environment of similarly motivated individuals will result in competition; and they further demonstrate how competition will result in the provision of those goods that society wants, in the quantities that society desires. 

The failure of markets even with Pareto-optimal results and income distribution was thought to be fair, the market would still fail if it supported an undemocratic structure of power (greed, opportunism, politacl passivity, and indifference toward others), the central idea is that our evaluation of markets and with the market failure concepts, must be expanded to include the effects of markets on both the structure of power and the proccess of human development. (Samuel Bowles, Jully 1991).

Markets and hierarchical decision making economize on the use of valuable but scarce human traits like 'feelings of solidarity with others, the ability to emphatize, the capacity for complex communication and collective decision making.  But more importantly, we must consider about the trust and participation across all.  Because markets bribe us with the lure of luxury beyond what others can have and beyond what we know we deserve.  Markets reward those who are the most efficient taking advantage of their fellow, and penalize those who insist, illogically, on pursuing the golden rule- do unto others as you would have them do unto you.  "Its really survival of the fittest here.  If you have a cutthroat heart, you can make it, if you are a good person, i dont think you can".

Bandung, 14 August 2018

Senin, 13 Agustus 2018

Development As Freedom #bookhighlight


Title : Development As Freedom
Author : Amartya Sen
Year : 1999
Publisher : Alfred A. Knopf, Inc
Distributed by : Random House, Inc., New York

Development as freddom, argued as a process of expanding the real freedoms that people enjoy, contrasts with narrower view, such as identifying development with the growth of gross national product, or with the rise in personal incomes, industrialization, technological advance, or social modernization. Even its matters, its also depend on other determinants, such as social and economic arrangements, as well as political and civil rights. Freedom is also the central to the process of development for two distinct reasons: 1) The evaluative reason; assessment of progress has to be done primarily in terms of whatever the freedoms that people have are enhanced. 2) The effectiveness reason: Achievement of development is thoroughly dependent on the free agency of people. 


A question from Maitreyee from Sanskrit text Brihadaranyaka Upanishad that asked “How far would wealth go to help them get what they want?”. Turn out, the issue is not the ability to love forever, but the capability to live really long (without being cut off in one’s prime) and to have a good life while alive (rather than a life of misery and unfreedom)-things that would be strongly valued and desired. The gap between an exclusive concentration on economic wealth and a broader focus on the lives we can lead is a major issue in conceptualizing development. 


Noted by Aristotle “wealth is evidently not the good we are seeking; for it is merely useful and for the sake of something else”. It is as important to recognize the crucial role of wealth in determining living conditions and the quality of life as it is to understand the qualified and contingent nature of this relationship. 


It should be clear from the preceding discussion that the view of freedom tha is being taken here involves both the processes that allow freedom of actions and decisions, and the actual opportunities that people have, given their personal and social circumstances.


Having greater freedom to do things one has reason to value is significant in itself for the person’s overall freedom and important in fostering the people’s opportunity to have valuable outcomes. Greater freedom enhances the ability of people to help themselves and also to influence the world, and these matters are central to the process of development. The concern here relates to what we may call the ‘agency aspect’ of the individual. (agency-acting on someone else’s behalf, principal).


The real conflict is actually between : 1) The basic value that people must be allowed to decide freely what traditions they wish or not wish to follow, and 2) The insistence that established traditions be followed, or alternatively, people must obey the decisions by religious or secular authorities who enforce traditions-real or imagined.

Selasa, 10 Juli 2018

Handbook Analisis Kebijakan Publik : Teori, Politik dan Metode. #BookHighlight


Diterjemahkan dari karya Frank Fischer, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods.
Penerjemah : Imam Baihaqie
Penerbit: Nusa Media, Bandung, 2015 
Halaman 1-148 (7 Bab) dari 904 Halaman

Ilmu Kebijakan di Persimpangan Jalan
Ilmu kebijakan berada di persimpangan karena terlepas dari metode penyelidikan yang canggih, analisis kebijakan tetap jauh dari pusat-pusat kekuasaan di mana keputusan kebijakan dibuat, nilai-nilai kekuatan analisis dan logika berjalan menurut kebutuhan politik. Dalam perkembangannya, ilmu kebijakan dibentuk sebagai problem-oriented, menangani isu-isu dan mengajukan rekomendasi sekaligus secara terbuka menolak studi fenomena (Lasswell, 1956) pendekatan kebijakan juga dianggap belum mengembangkan dasar teoritis yang menyeluruh. Ilmu kebijakan juga multi disiplin dalam pendekatan intelektual dan praktisnya. Pendekatan ilmu kebijakan juga sengaja normative atau berorientasi nilai, menyangkut etos demokrasi dan martabat manusia karena pemahaman bahwa tidak ada masalah sosial/pendekatan metodogis yang bebas nilai. Perkembangan ilmu kebijakan ini menurut deLeon (1988) juga terkait akan masalah politik tertentu yaitu Perang Dunia Kedua, Perang Terhadap Kemiskinan (1960), Perang Vietnam, Skandal Watergate (1972) dan Krisis Energi (1970-an).
            Tantangan ke depan, juga berdasar dari ketegangan dialektis antara pengetahuan dan politik, sehingga ketegangan tersebut akan memiliki potensi untuk berkembang, mengubah bentuknya, serta tidak memiliki pola yang pasti karena perubahan peristiwa-peristiwa politik dan tantangan intelektual, sehingga tidak akan mendapatkan keberhasilan murni atau bahkan pengetahuan yang luas, sehingga dapat sampai pada tataran: memahami bagaimana dan mengapa dunia telah berubah.  Sehingga yang perlu dipegang adalah konseptual dan metodologis yang tepat untuk memahami kebutuhan kontemporer dan menawarkan kebijaksanaan dan rekomendasi yang tepat untuk berkembangnya ilmu kebijakan.

Promosi Orientasi Kebijakan: Laswell dalam Konteks
Prinsip kunci penyelidikan yaitu kita harus, sebagai bagian dari penelitian kita, membuka diri kita pada diri kira sendiri (Atkins dan Lasswell, 1924,7). Pemikiran refleksif ke dalam diri dan konteks mempunyai kedudukan utama dalam orientasi kebijakan Lasswell. Lasswell juga mengambil teknik psikoanalisis, fantasi bebas yang diperlukan untuk mengatasi penipuan diri, bahwa logika tidak hanya memadai bagi penyelidikan rasional, tapi ia sendiri adalah kendala, oleh karena itu kendala logika harus dilepaskan untuk mendapatkan pemahaman batin tentang apa yang jelas, pikiran juga adalah istrumen yang cocok untuk melakukan uji realitas, dan mengasah dua pisau antara pisau logika dan pisau fantasi bebas. 
Menurut Lasswell, seorang intelektual harus mempelajari syarat-syarat bertahan hidup dalam arena kekuasaan, yaitu ketika mereka terjebak dalam jaring kepentingan, sehingga harus mengembangkan identitas professional yang akan menawarkan proteksi kelembagaan terhadap irasionalitas yang ditimbulkan oleh kekuasaan politik, juga pentingnya mengembangkan komunitas peneliti. Bahwa kita tidak lagi mempunyai kisah tentang orientasi kebijakan professional tunggal yang terletak pada lembaga lembaga mapan sekaligus secara pradoks bekerja untuk secara kritis mencerahkan diri mereka sendiri dan masyarakat.  Sebaliknya, kita mempunyai kisah tentang pluralitas orientasi kebijakan yang tidak hanya didasarkan pada lembaga-lembaga yang telah mapan tapi juga publik masyarakat sipil.

Kebijakan Publik, Ilmu Sosial dan Negara: Sebuah Perspektif Sejarah
            Penelitian sosial juga berkembang kepada gagasan bahwa pengetahuan yang baik mempunyai hubungan yang harmonis dengan kegunaannya.  Sehingga pemanfaatan pengetahuan adalah salah satu bidang yang berkembang dan gerakan refleksif dari banyak ilmu sosial menjadi sumber dalam pengalaman ini.  Neoliberalisme sebagai ideologi ekonomi umum bahkan menghidupkan kembali ideologi ekonomi umum dan doktrin pengaturan diri-sosial dimana tidak ada tempat atau kebutuhan akan bukti empiris yang rinci tentang situasi sosial. Bahwa pemahaman neoliberalisme antara negara dan ekonomi dalam hubungan yang ekonomis, dengan pemahaman postmodernis mengenai masyarakat dan kebudayaan, bahwa ilmu sosial menjadi kerangka dasar untuk memikirkan hubungan antara pasar dan hierarki, memungkinkan pluralitas, keragaman dan kompleksitas. Dan memiliki keterbatasan untuk mengendalikan situasi sosial-politik karena manusia bertindak dengan cara yang tidak dapat diketahui. Model proses kebijakan, menurut Lasswell (1956) memiliki tujuh tahap yaitu kecerdasan, promosi, rumusan, penerapan, penghentian dan penilaian.
            Pembuatan kebijakan mengandaikan pengenalah masalah kebijakan, yaitu mensyaratkan masalah sosial telah didefinisikan dan perlunya intervensi negara telah dinyatakan dan masalah telah dimasukkan dalam agenda untuk pertimbangan serius aksi publik. Bertemunya sejumlah faktor dan variabel yang saling berkaitan menentukan apakah isu kebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan.  Faktor-faktor ini mencakup kondisi material lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), dan aliran siklus gagasan dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi kebijakan dan menghubungkannya dengan solusi (usulan kebijakan).  Dalam konteks itu, lingkaran kepentingan antara aktor-aktor yang terkait, kapasitas lembaga yang bertanggung jawab untuk bertindak secara efektif, dan siklus persepsi masalah publik serta solusi yang terkait dengan berbagai masalah adalah sangat penting.  Selanjutnya, untuk proses ideal implementasi kebijakan, mencakup unsur-unsur spesifikasi rincian program, alokasi sumber daya dan keputusan.  Tahap evaluasi, kemudian menjadi penting untuk menilai suatu kebijakan menurut tujuan dan dampak yang diinginkan dalam membentuk titik awal serta berfokus pada hasil yang diharapkan dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan.
            Kerangka siklus kebijakan tidak hanya menawarkan tolak ukur bagi evaluasi kegagalan atau keberhasilan, tetapi juga menawarkan perspektif untuk menilai kualitas demokratis proses ini.  Pertanyaan penelitian juga adalah salah satu yang paling penting untuk kemudian berlanjut menjadi apakah dan mengapa kebijakan menyimpang dari desain awal, dan aktor mana yang paling penting dalam mendefinisikan masalah kebijakan atau secara resmi mengadopsi kebijakan tertentu.
           
Penetapan Agenda dalam Kebijakan Publik
Menurut Schattscheineder, 1960, definisi alternatif adalah alat paling ampuh dari kekuasaan, bahwa definisi isu, masalah, dan solusi alternatif sangat penting karena menentukan isu, masalah dan solusi mana yang akan mendapatkan perhatian dari masyarakat dan pengambil keputusan, yang akan mendapatkan perhatian yang lebih luas.  Semua bentuk organisasi politik mempunyai bias dalam mendukung ekploitasi jenis konflik dan menekankan jenis lain karena organisasi adalah mobilisasi bias.  Beberapa isu disusun ke dalam politik, sementara yang lain dikeluarkan. 
Ada beberapa cara di mana kelompok dapat menjalankan strategi untuk mendapatkan perhatian pada isu, sehingga mendapatkan isu pada agenda.  Cara pertama bagi kelompok kepentingan yang kurang diuntungkan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan berkaitan dengan metaphor arus perubahan agenda dimana ‘jendela kesempatan’ untuk perubahan terbuka ketika dua arus atau lebih (arus politik, masalah atau kebijakan) digabungkan.  Kedua, perubahan dalam persepsi kita terhadap masalah juga akan mempengaruhi terbukanya ‘jendela kesempatan’ bagi perubahan kebijakan. Juga pentingnya membuat koalisi advokasi, yaitu koalisi dari kelompok tertentu yang bersatu berdasarkan beberapa keyakinan bersama tentang isu atau masalah tertentu dimana hal ini akan bekerja untuk mengalahkan kekuatan kepentingan dominan, juga menghasilkan perhatian yang lebih besar dari pembuat kebijakan dan akses yang lebih besar pada proses pembuatan kebijakan, sehingga membentuk kekuatan tandingan melawan elit yang lebih kuat.

Perumusan Kebijakan: Desain dan Alat
Perumusan kebijakan mencakup identifikasi dan/atau penyusunan seperangkat alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah dan mempersempit kumpulan solusi tersebut untuk dipersiapkan dalam keputusan kebijakan final.  Mengambil pertanyaan; apa rencana untuk mengatasi masalah?, apa tujuan dan prioritasnya? Apa pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut, apa kelebihan dan kekurangan dari setiap pilihan?apa faktor luar, positif atau negatif, yang terkait dengan setiap alternatif? (Cochran dan Malone, 1996).
Analisis konteks tertentu juga dapat menghasilkan prediksi yang luar tentang desain kebijakan yang akan muncul darinya.  Tetapi karena desain mempunyai begitu banyak ‘working parts’ (tujuan, definisi masalah, kelompok sasaran, alat, agen dan lain-lain) membuat hal tersebut menjadi sulit dilakukan, juga diperumit oleh dimensi manusia pembuatan kebijakan.

Implementasi Kebijakan Publik
Studi implementasi terbagi menjadi tiga generasi penelitian implentasi (Goggin dkk, 1990),yang pertama yaitu meningkatkan kesadaran akan isu dalam komunitas ilmiah yang lebih luas dan masyarakat umum, yang kedua yaitu pengajuan berbagai macam kerangka teori dan hipotesis, juga pemahaman akan pelaksanaan secara hierarkis tujuan kebijakan yang didefinisikan oleh pusat. Yang ketiga yaitu implementasi yang menjembatani kesenjangan antara pendekatan atas-bawah dan bawah-atas (hierarkis) dengan menggabungkan wawasan pemikiran dari kedua kubu menjadi model teoritis mereka.  Sementara itu Goodin dan Klingemann, 1996 memiliki tiga kelemahan, yaitu kurangnya kumulasi, yaitu bentrok antara pemikiran atas-bawah dan bawah-atas, kurangnya pemahaman akan faktor-faktor variabel penjelas, mana yang lebih penting serta bagaimana latar belakangnya, dan penelitian implementasi yang ditandai oleh ontologi dan epistemologi, yang sama-sama positivis yang sebagian besar mengabaikan peran, wacana, simbol dan pola budaya.

Bandung, 11 Juli 2018

Jumat, 30 Maret 2018

Sosiologi Perubahan Sosial; Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial #MarchBookHighlight


Judul Buku : Sosiologi Perubahan Sosial; Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial
Penulis : Nanang Martono
Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Cetakan ke 4 - April 2016
Tebal : 477 halaman

Perubahan sosial adalah suatu proses yang melibatkan dimensi ruang dan waktu.  Dimensi ruang yaitu menunjuk pada wilayah dan kondisi yang melingkupinya, waktu, yaitu mencakup konteks historis dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. 

Aspek dalam perubahan sosial adalah perilaku, pola pikir dan perubahan struktur masyarakat.

Menurut Tilaar, 2002, terdapat 6 pokok persoalan perubahan sosial yaitu : 
1. Apakah yang sebenarnya berubah?
2.  Bagaimana hal tersebut mengalami perubahan?
3. Apa tujuan perubahan tersebut?
4. Seberapa cepat perubahan itu?
5.  Mengapa terjadi perubahan? (sebab-sebab)
6.  Faktor-faktor apa saja yang berperan?

Selain itu, adapula alasan suatu masyarakat tidak bisa berubah menurut Spicer, yaitu 1) mengancam rasa aman, 2) Tidak memahami perubahan dan 3) Pemaksaan.

Bentuk-bentuk perubahan sosial adalah evolusi (lambat) dan revolusi (cepat) yang bisa dibagi menjadi Revolusi secara 1) fundamental, 2) kekerasan, perjuangan dan kecepatan dan 3) kombinasi diantara keduanya.  Proses tersebut akan menciptakan terciptanya proses reformasi sosial.

Faktor penyebab perubahan sosial dapat dibedakan secara internal (penduduk, konflik sosial) dan eksternal (bencana alam, perang). 

Faktor yang mempercepat perubahan sosial :
1) kontak antar budaya
2) sistem pendidikan yang maju
3) sikap menghargai karya dan keinginan untuk maju
4) toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang (sejauh bukan tindak pidana/melanggar hukum)
5) sistem stratifikasi yang terbuka (gerak sosial vertikal dan horizontal)
6) penduduk yang heterogen 
7) ketidakpuasan terhadap bidang tertentu
8) orientasi masa depan 
9) nilai bahwa manusia harus selalu memperbaiki kehidupannya.

Faktor yang menghambat perubahan sosial : 
1) kurangnya kontak sosial/interaksi
2) perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
3) sikap tradisional (turun temurun) : mengagungkan kepercayaan lama, dll
4) vested interested (kepentingan yang telah ditanamkan kelompok tertentu untuk melanggengkan posisi mereka)
5) rasa takut akan goyahnya integrasi budaya luar
6) prasangka terhadap hal hal baru/asing/sikap yang tertutup
7) ideologis
8) adat/kebiasaan
9) nilai bahwa hidup tidak dapat diperbaiki/pasrah
(Soekanto, 1999)

Faktor pendorong : Sosial, psikologis, budaya.
Faktor pendukung : Komunikasi dan pers, birokrasi, modal, teknologi, ideologi.
(Salim, 2002)

Strategi Perubahan Sosial 
Sasaran : 1) karakteristik individu 2)aspek budaya 3)aspek stuktural; kelompok sosial, organisasi, institusi, komunitas dan masyarakat dunia (global).  - Harper, 1989

Strategi perubahan sosial dengan target individu : 
1) psikoanalisis
2) psikologi sosial
3) pendidikan

Strategi dasar: 
1) fasilitatif
2) reedukatif
3) persuasif
4) kekuasaan
5) kekerasan dan nonkekerasan

Pemberdayaan masyarakat dalam proses perubahan, dapat dilakukan melalui pendampingan sosial yaitu : 
1) memberikan motivasi,
2) peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan 
3) manajemen diri 
4) mobilisasi sumber
5) pembangunan dan pengembangan jaringan 

Permasalahan sosial menjadi isu yang sangat menarik dan sangat erat kaitannya dengan kemiskinan.  Dimana penanggulangan masalah ini sendiri sangatlah kompleks apabila tidak terlebih dahulu memahami beberapa teori dasar mengenai bagaimana gambaran sasaran target/subjek perubahan itu sehingga dapat menyusun strategi apakah yang terbaik melihat dari kondisi yang muncul serta menjadi ciri dari masyarakat tersebut.

Buku ini sangat menarik, karena memuat mengenai teori teori tersebut dilengkapi dengan contoh dan gambaran nyata yang aktual, juga memberikan solusi semacam pendidikan alternatif, yang didasari integrasi misi program dengan pengetahuan, kemampuan, kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya lokal lainnya untuk meraih kemandirian masyarakat.

Origin - Dan Brown #Marchbook


Judul Buku : Origin
Penulis : Dan Brown
Penerbit : PT Bentang Pustaka, Yogyakarta
Penerjemah : Ingrid Dwijani, Reinitha Amalia, Dyah Agustine
Distributor : Mizan Media Utama, Bandung
Cetakan Kedua, Januari 2018
Tebal : 507 Halaman

This is another series of Robert Langdon's adventure, that tell us about the murder mystery of Edmond Kirsch, an atheist, also a computer-scientist who found a new discovery that could answer a controversial question, 

Where are do we come from and where are we going? 

picture from here

This controversial discovery led Kirsch to a dangerous way the makes him would questioning by religionist, scientist, and the world.  So he try to presented his discovery by giving a theatrical presentation located at Guggenheim Museum Bilbao, that have a curator named Ambra Vidal, whose recently enganged to Spain's Prince, soon to be a king.

In the middle of this presentation Kirsch getting murdered in front of Langdon and Ambro, before he can share his discovery.  During the mess and the catch of the murderer, Langdon and Ambra stuck into a plot that makes they have to break the codes that given to him with Wingston, a super artificial intelligent made by Kirsch.  They have a purpose to reveal the back-up of hidden discovery and to share it to the world. 

This book is really enchanting, feels like an action, suspense, full of clues that makes us wonder and think about who is plotting the murder and about the greatest content of this book : What is the answer of Life's Most Important Question? What is the discovery? Besides the real history background that mentioned a real place, like Casa Mila, Guggenheim Museum Bilbao, and another science/religionist make it more interesting because we could search the real place/paiting/history on the internet to make us have another reference on Spain's historical building/art.

God is dead. God remains dead. And we have killed him. How shall we comfort ourselves, the murderers of all murderers? -Nietsche

Rabu, 28 Februari 2018

Buku Februari: The Life Changing MAgic Of Tidying Up - Marie Kondo


Judul : The Life-Changing Magic Of Tidying Up; 
Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang 
Penulis : Marie Kondo 
Penerbit : PT Bentang Pustaka, didistribusikan Oleh Mizan Media Utama
Penerjemah : Reni Indardini
Cetakan Kedelapan, Desember 2017
Tebal : 206 Halaman

Buku ini sangat menarik, menggarisbawahi pekerjaan yang dianggap mudah, sebenarnya mampu mencerminkan banyak hal. Tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

Ternyata, berbenah bukan hanya mengenai merapikan barang-barang, tetapi juga membangkitkan kegembiraan, menyimpan hal hal yang bermakna dan membuat bahagia, kemudian mengenyahkan barang-barang yang mungkin kita pikir kita perlukan, padahal hanya memberatkan langkah kita.

Berbenah ternyata merupakan sebuah seni, untuk membenahi diri, memberikan refleksi bagaimana kita menjalani kehidupan, dengan berhenti cemas akan masa depan atau terlampau terikat pada masa lalu.

Buku ini memberikan detail mengenai bagaimana merapikan rumah, juga memberikan cara, bagaimana membenahi kehidupan, yaitu dengan melepaskan beberapa hal dan mensyukuri hal hal yang ada, kemudian memaksimalkan potensinya.

Buku ini adalah trigger, rasanya menyenangkan dan membahagiakan membacanya, menyadari bahwa mungkin kita terlewat pada hal hal kecil namun memberikan dampak kepada hidup kita. Bahwa mungkin dari hal hal kecil, seperti menghargai barang barang kita, kita akan memperoleh kebahagiaan yang berkali lipat dan ketenangan hati akan merasa cukup. Bahwa dengan berbenah akan meredakan kecemasan kecemasan yang kita alami setelah tantangan yang kita hadapi di luar rumah. Dan ketika pulang ke rumah, kita akan selalu dikelilingi hal hal yang membahagiakan.

5/5